Jumat, 29 Mei 2009

Pagi yang tak biasa

Pagi Yang Tak Biasa



Meskipun kelopak matanya sudah mulai membuka, tangan dan kakinya tetap terbujur kaku. Terbaring di atas ranjang 1 x 2 m. Ranjang kasur itu sama sekali tidak empuk. Pembaringan yang tidak tergolong memadai bagi seorang pemuda ambisius berusia 22 tahun. Mesin otaknya mulai bekerja. Mencoba menerobos semak mimpi menuju padang alam sadar. Tidak sedikit waktu yang diperlukannya untuk bangun total dari tidurnya. Lamunannya masih bergelantungan tak menentu. Ia masih mencoba meraih kesadarannya. Tepat di depan wajahnya, sebuah benda elektronik seukuran remote control televisi tergeletak dalam keadaan aktif. Handphone. Benda yang satu ini seakan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Modernisasi telah menginvasi negeri kesederhanaan umat manusia yang damai. Dengan tangan kanannya, ia meraih handphone itu. Dilihatnya jam digital pada layar sedang menunjukkan angka 07.00. Di luar sana, jauh dari mimpi indahnya, matahari sudah mulai meninggi seakan memberikan perintah kepada semua manusia agar segera beraktifitas menjalani hari. Mentari yang telah mengusir malam beberapa jam sebelumnya itu dengan sinar terangnya menunjukkan kehebatannya di hadapan umat manusia layaknya Fir'aun yang tengah duduk di atas singgasananya di hadapan ribuan rakyatnya.

...

"Willy!! Sampe kapan kau mau tidur terus?? Udah jam tujuh tuh!!". Sebuah teriakan dari arah dapur sontak membuyarkan mimpi Willy. Tubuhnya yang sedari tadi terpaku di atas kasur empuk kini mulai menggeliat. "Hhaaahh.." Ia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Hembusan yang terlahir dari kejenuhan. Jenuh menjalani hari. Jenuh menatap cita dan mimpi. Jenuh pada dunia yang usang lagi kotor ini. Sejenak ia melayangkan lamunannya. Berangan. Menelusuri lorong-lorong khayal. Melewati sudut-sudut impian. Impian dan citanya tidaklah rendah. Ketinggian cita-citanya membuat ia harus memutar otak dan menguras keringat demi mewujudkannya. Sayap-sayap lamunannya semakin membawanya terbang menuju dimensi lain. Dimensi di mana ia bisa mendapatkan semua yang ia inginkan. Bibirnya menorehkan senyuman. Namun tidak lama kemudian sayap itu patah. Lamunannya terjatuh sehingga menghancurkan dimensi impiannya. Senyumannya pun hilang dalam sekejap dari wajahnya. Otak besarnya kini membawanya melintasi rel-rel logika dan realita. Gajinya yang pas-pasan sebagai pegawai honorer di salah satu kantor pemerintahan membuat ia harus mengubur hidup-hidup semua angan dan citanya. Mungkin tak semua.

...

Ia termenung seraya berharap agar suatu hari nasibnya akan berubah. Ia sering membayangkan dirinya sukses seperti Willy Wonka, seorang pria dalam film Charlie And The Chocolate Factory yang memiliki perusahaan coklat terbesar . Tokoh fiktif. Salah satu wujud mimpi manusia yang direalisasikan lewat sebuah dunia utopia kecil ynag bernama film. Mimpi memang selamanya lebih indah. Ada kebanggan tersirat di wajah Willy membayangkan namanya serupa dengan tokoh fiktif favoritnya itu. Di satu sisi, ia berharap agar namanya tidak menjerumuskannya dalam musibah kejahatan yang melibatkan Kombes Polisi Williardi Wizar baru-baru ini. Seorang penganyom dan seharusnya menjadi teladan masyarakat, justru melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Bukan hanya mencoreng nama sendiri, namun juga mengotori wajah kesatuan Kepolisian dengan lumpur aib. Sungguh, sesuatu yang sagat tidak diharapkan di tengah krisis kepahlawanan yang melanda bangsa ini. Hal ini tentunya menambah daftar panjang dosa para oknum aparatur negara. Membayangkannya, Willy merinding sesaat. Ia tidak habis pikir dengan orang yang diberikan kepercayaan memimpin justru menyalahgunakannya. Willy kembali merinding, namun kali ini lebih lama dua detik. "Haah.. Apalah arti sebuah nama..", pikirnya. Satu tarikan nafas panjang cukup membuat kereta otak besarnya kembali ke rel yang tepat.

...

"Willy!! Ayo cepetan! Ntar kopinya dingin loh.." Sebuah teriakan dari arah suara yang sama dengan sebelumnya kembali mengusiknya. Terbayang nikmatnya menyeruput kopi manis hangat buatan ibunya. Rutinitas memang tak selamanya membosankan. Willy jadi penasaran membayangkan suasana koffie urtje (coffee morning) yang diadakan tiap pagi di taman belakang istana negara oleh Presiden Soekarno pada waktu itu. Koffie urtje selain berfungsi sebagai acara ramah-tamah Presiden dan para pejabat tingginya, juga berfungsi sebagai ajang pembahasan dan pengambilan keputusan kenegaraan. Bung Karno. Sosok revolusioner yang telah memberi banyak arti bagi bangsa ini.

"HHaahh.." Hembusan nafas panjang berikutnya bermakna lain meski memiliki ritme dan irama yang serupa. Kali ini ia sedikit bersemangat. Entah apa yang menyemangatinya. Pikirannya masih menganalisa. Mencoba menemukan secercah terang harapan di tengah gelapnya keputus-asaan. Rupanya ada sesuatu, atau lebih tepatnya sesosok, yang membuatnya begitu bersemangat. Bayangan sosok itu telah memberinya motivasi baru di pagi yang tidak biasa itu. Ia turun dari pembaringannya lalu mengayunkan langkahnya. Hati kecilnya bahagia. Diskusi kecil telah terjadi pada pagi itu. Diskusi yang tidak biasa antara dirinya, lamunannya dan cita-citanya. Dirinya yang sering bertahan pada tiang citanya ketika badai lamunan yang membawa serbuk-serbuk keputus-asaan menerpanya.

...
...
...